Hubungan Sipil-Militer: Mengapa Profesionalisme TNI Krusial bagi Demokrasi

Dalam negara demokrasi modern, hubungan antara pemerintah sipil yang terpilih dengan kekuatan bersenjata negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI), harus didasarkan pada prinsip yang jelas: supremasi sipil. Kualitas hubungan ini secara langsung memengaruhi stabilitas politik dan keberlanjutan sistem demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, Profesionalisme TNI adalah syarat mutlak, bukan hanya dalam hal kecakapan tempur, tetapi juga dalam kepatuhan terhadap hukum, netralitas politik, dan fokus pada tugas konstitusionalnya sebagai alat pertahanan negara. Profesionalisme TNI yang teguh memastikan bahwa institusi militer tidak menjadi aktor politik yang berpotensi mengancam proses demokrasi.

Era Reformasi pada tahun 1998 menandai titik balik penting dalam upaya memisahkan militer dari politik, yang sebelumnya dilegitimasi oleh doktrin Dwi Fungsi ABRI. Sejak saat itu, TNI telah melalui proses restrukturisasi untuk kembali ke barak, fokus pada Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang diatur oleh undang-undang. Kunci dari transformasi ini adalah kepastian bahwa TNI hanya bertugas menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah, bukan mengintervensi urusan pemerintahan sipil.


Netralitas Politik: Inti dari Profesionalisme

Elemen terpenting dari Profesionalisme TNI adalah Netralitas Politik. Dalam sebuah demokrasi, militer harus berdiri di atas semua golongan politik. Prajurit TNI dilarang terlibat dalam politik praktis, menjadi anggota partai politik, atau secara terbuka mendukung salah satu kontestan dalam pemilihan umum. Kebijakan ini dijamin oleh regulasi internal dan diresmikan melalui undang-undang. Panglima TNI, dalam sebuah amanat internal pada tanggal 1 Januari 2024, secara tegas mengingatkan seluruh prajurit aktif tentang larangan keras untuk berpolitik praktis, menekankan bahwa netralitas adalah harga mati.

Jika militer berpihak, kredibilitasnya sebagai penjaga keamanan nasional akan runtuh, dan negara akan terjerumus dalam konflik internal. Oleh karena itu, disiplin dan kepatuhan pada aturan netralitas adalah barometer utama untuk mengukur Profesionalisme TNI.


Akuntabilitas dan Pengawasan Sipil

Profesionalisme TNI juga mencakup akuntabilitas di bawah pengawasan sipil. Di Indonesia, pengawasan ini dilakukan melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang dipimpin oleh seorang menteri sipil. Kemhan bertanggung jawab atas kebijakan pertahanan, anggaran, dan pengadaan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista). Anggaran pertahanan, termasuk proyek Minimum Essential Force (MEF), harus dipertanggungjawabkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memastikan transparansi dalam penggunaan dana publik.

Proses pengawasan ini memastikan bahwa keputusan strategis mengenai pertahanan negara dibuat oleh otoritas sipil yang bertanggung jawab kepada rakyat, sementara TNI fokus pada eksekusi teknis dan operasional. Lembaga Kajian Pertahanan Strategis pada laporan tahunan 2023 mencatat bahwa transparansi anggaran militer Indonesia telah meningkat sebesar 15% sejak dimulainya program MEF, sebuah indikator positif dari kepatuhan TNI terhadap prinsip akuntabilitas sipil.

Kesimpulannya, hubungan sipil-militer yang sehat adalah fondasi bagi stabilitas Indonesia. Dengan menjunjung tinggi Profesionalisme TNI, terutama melalui netralitas politik dan kepatuhan pada pengawasan sipil, militer dapat sepenuhnya mendedikasikan diri pada tugas utamanya sebagai benteng pertahanan negara, tanpa menjadi ancaman bagi sistem demokrasi yang telah diperjuangkan.

Tulisan ini dipublikasikan di Militer. Tandai permalink.