Wilayah udara Indonesia yang luas, mencakup ribuan pulau dan jalur penerbangan internasional yang padat, menjadikannya salah satu ruang udara paling kompleks untuk diawasi. Tugas vital untuk memastikan tidak ada pesawat asing yang melanggar batas tanpa izin berada di tangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), yang bertindak sebagai Penjaga Kedaulatan Udara. Sistem pertahanan udara nasional harus selalu siaga, menerapkan skema pencegatan cepat (scramble) yang efektif dan terstruktur. Kecepatan dan ketepatan respons adalah kunci keberhasilan TNI AU sebagai Penjaga Kedaulatan wilayah udara, yang menuntut integrasi sempurna antara radar, pilot, dan ground control.
Seluruh operasi pencegatan dikoordinasikan oleh Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas). Proses ini dimulai ketika Unidentified Flying Object (UFO)—yang dalam konteks militer berarti pesawat yang tidak memiliki rencana penerbangan atau tidak merespons panggilan radio—terdeteksi oleh Radar Surveillance jarak jauh TNI AU. Radar-radar ini, yang ditempatkan secara strategis di beberapa titik kritis seperti Pulau Natuna dan Timika, Papua, memberikan peringatan dini kepada Pusat Operasi Sektor (Posek). Berdasarkan SOP yang ditetapkan pada tahun 2023, jika pesawat asing tidak merespons dalam waktu lima menit setelah peringatan pertama, Kohanudnas akan segera memerintahkan scramble.
Skema scramble adalah proses di mana jet tempur yang siaga (Quick Reaction Alert/QRA) diluncurkan dalam waktu sesingkat mungkin. Unit QRA, yang umumnya terdiri dari Sukhoi Su-27/30 atau F-16 Fighting Falcon, selalu berada dalam kondisi standby di pangkalan udara yang ditunjuk, seperti Lanud Iswahjudi di Madiun atau Lanud Hasanuddin di Makassar. Pilot yang bertugas harus mampu berada di kokpit dan take-off dalam waktu ideal di bawah 15 menit sejak perintah scramble diberikan. Kecepatan ini sangat penting karena pesawat yang melanggar batas dapat melintasi wilayah udara sensitif dalam waktu singkat. Tugas utama pilot Penjaga Kedaulatan adalah melakukan identifikasi visual dan, jika perlu, manuver pencegatan untuk memaksa pesawat asing mendarat di pangkalan terdekat atau keluar dari wilayah udara Indonesia.
Dalam kasus pelanggaran yang berhasil diintersep, pilot TNI AU akan mengawal pesawat asing tersebut ke pangkalan. Setelah mendarat, penanganan diserahkan kepada Polisi Militer Angkatan Udara (POM AU) dan Imigrasi. Pesawat beserta awaknya akan menjalani proses interogasi dan penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan motif pelanggaran. Keputusan akhir, apakah pesawat akan diizinkan terbang kembali, disita, atau awaknya dituntut, akan diputuskan melalui koordinasi antara TNI, Kementerian Pertahanan (Kemhan), dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Proses ini menegaskan bahwa tugas Penjaga Kedaulatan tidak berakhir di udara, melainkan melibatkan seluruh rantai komando dan penegakan hukum negara. Dengan sistem pengawasan terintegrasi dan respons cepat, TNI AU memastikan bahwa kedaulatan udara Indonesia tetap terjaga tanpa kompromi.